Beranda | Artikel
Penjelasan Empat Kaidah Pokok (4)
Rabu, 16 Desember 2015

Bagian 2.

Awal Risalah

Penulis rahimahullah berkata, “Ketahuilah –semoga Allah membimbingmu untuk taat kepada-Nya– bahwa al-Hanifiyah yaitu agama Ibrahim adalah anda beribadah kepada Allah semata dengan memurnikan agama untuk-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56).”

Penjelasan Para Ulama :

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Ini adalah doa dari Syaikh rahimahullah, dan demikianlah semestinya seorang pengajar untuk mendoakan kebaikan bagi pelajar. Adapun ‘taat kepada Allah’ maknanya adalah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” (lihat Syarh Syaikh al-Fauzan, hal. 11-12)

1707

Syaikh Shalih alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Allah jalla wa ‘ala menjadikan Ibrahim sebagai orang yang hanif, artinya beliau condong dan berpaling dari jalan syirik menuju tauhid yang murni. Sedangkan al-Hanifiyah adalah agama yang berpaling dari segala kebatilan menuju kebenaran serta menjauh dari semua kebatilan menuju kebenaran. Dan itulah agama/millah yang dianut oleh bapak kita Ibrahim ‘alaihis salam. Yang mana Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Bukanlah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang hanif dan muslim.” (Ali Imran : 67)…” (lihat Syarh Syaikh alu Syaikh, hal. 7)

Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah berkata, “al-Hanifiyah itulah ajaran yang diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk diikuti oleh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; hendaklah kamu mengikuti millah/agama Ibrahim yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (An-Nahl : 123).” (lihat Syarh Syaikh ar-Rajihi, hal. 7)

Syaikh Muhammad Raslan hafizhahullah berkata, “Seorang yang hanif adalah yang menghadapkan dirinya kepada Allah dan berpaling dari selain-Nya, dia memurnikan ibadahnya untuk Allah semata serta senantiasa tunduk patuh kepada-Nya. Adapun hakikat ketaatan itu adalah menyesuaikan diri dengan apa yang dikehendaki Allah dengan cara melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan hal-hal yang dilarang.” (lihat Syarh Syaikh Raslan, hal. 9)

Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Hakikat daripada hal itu -yaitu hanifiyah- adalah anda beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama/amal kepada-Nya. Dan hal ini tidak bisa terwujud kecuali dengan dua perkara; mengesakan Allah tabaraka wa ta’ala dalam beribadah, dan mencampakkan penghambaan kepada thaghut. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah sesungguhnya dia telah berpegang dengan buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan terputus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah : 256).” (lihat Syarh Syaikh as-Suhaimi, hal. 5)

Syaikh Shalih al-Luhaidan hafizhahullah berkata, “Hakikat al-Hanifiyah itu adalah beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik. Karena barangsiapa yang mempersekutukan bersama Allah sesembahan selain-Nya maka Allah jalla wa ‘ala akan meninggalkan dia dan syiriknya itu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Aku [Allah] adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mempersekutukan bersama-Ku sesembahan yang lain maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim).” (lihat Syarh Syaikh al-Luhaidan, hal. 5)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Beliau -Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- tidak mencukupkan diri dengan perkataan ‘anda beribadah kepada Allah’ saja. Bahkan beliau juga menambahkan dengan ungkapan ‘dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya’. Artinya adalah anda juga harus menjauhi syirik. Karena ibadah apabila tercampuri dengan syirik maka ia menjadi terhapus/sia-sia. Maka tidaklah ia menjadi ibadah -yang benar- kecuali apabila bersih dari syirik besar maupun syirik kecil.” (lihat Syarh Syaikh al-Fauzan, hal. 12)

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “al-Hanifiyah yang itu merupakan millah/ajaran agama Ibrahim adalah : anda beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya. Oleh sebab itu tidaklah seorang insan menjadi hanif kecuali apabila dia adalah orang yang ikhlas. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dengan hanif.” (Al-Bayyinah : 5)…” (lihat Syarh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr, hal. 17)

B4TRdg_CcAIciKO

Pentingnya Ikhlas

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas dari dalam hati atau dirinya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan la ilaha illallah karena mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Itban radhiyallahu’anhu)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa maksud dari ungkapan ‘mengharap wajah Allah’ adalah dia mengucapkan syahadat itu dengan penuh keikhlasan kepada-Nya, bukan karena riya’, sum’ah, atau pun kemunafikan (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 97)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, “Barangsiapa mengikhlaskan amal-amalnya untuk Allah serta dalam beramal itu dia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka inilah orang yang amalnya diterima. Barangsiapa yang kehilangan dua perkara ini -ikhlas dan mengikuti tuntunan- atau salah satunya maka amalnya tertolak. Sehingga ia termasuk dalam cakupan hukum firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dan Kami hadapi segala amal yang telah mereka perbuat kemudian Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.’ (Al-Furqan : 23).” (lihat Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal. 14 cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwasanya ibadah dan segala bentuk amalan tidaklah menjadi benar kecuali dengan dua syarat; ikhlas kepada Allah ‘azza wa jalla, dan harus sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian sebagaimana beliau terangkan dalam I’anatul Mustafid (Jilid 1, hal. 60-61)

Beliau juga memaparkan, bahwasanya kedua syarat ini merupakan kandungan dari kedua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah bermakna kita harus mengikhlaskan seluruh ibadah hanya untuk Allah. Syahadat Muhammad rasulullah bermakna kita harus mengikuti tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1, hal. 61)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka bukanlah perkara yang terpenting adalah bagaimana orang itu melakukan puasa atau sholat, atau memperbanyak ibadah-ibadah. Sebab yang terpenting adalah ikhlas. Oleh sebab itu sedikit namun dibarengi dengan keikhlasan itu lebih baik daripada banyak tanpa disertai keikhlasan. Seandainya ada seorang insan yang melakukan sholat di malam hari dan di siang hari, bersedekah dengan harta-hartanya, dan melakukan berbagai macam amalan akan tetapi tanpa keikhlasan maka tidak ada faidah pada amalnya itu; karena itulah dibutuhkan keikhlasan…” (lihat Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 17-18)

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata kepada seseorang sembari menasihatinya, “Hati-hatilah kamu wahai saudaraku, dari riya’ dalam ucapan dan amalan. Sesungguhnya hal itu adalah syirik yang sebenarnya. Dan jauhilah ujub, karena sesungguhnya amal salih tidak akan terangkat dalam keadaan ia tercampuri ujub.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 578)

Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil karena niatnya.” (lihat Iqazh al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 35)

Yusuf bin Asbath rahimahullah berkata, “Allah tidak menerima amalan yang di dalamnya tercampuri riya’ walaupun hanya sekecil biji tanaman.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 572)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwasanya keikhlasan seringkali terserang oleh penyakit ujub. Barangsiapa yang ujub dengan amalnya maka amalnya terhapus. Begitu pula orang yang menyombongkan diri dengan amalnya maka amalnya menjadi terhapus.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 584)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/penjelasan-empat-kaidah-pokok-4/